SEBAGAI salah satu instansi penyidik tindak pidana korupsi, Polri rupanya belum bersih dari masalah yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia itu. Menyusul dugaan korupsi pengadaan alat komunikasi (alkom) dan jaringan komunikasi (jarkom) senilai Rp 602 miliar yang menyembul dua tahun silam, kini Mabes Polri kembali diguncang isu tak sedap. Bau busuk ini meruyak dari pelaksanaan tender pengadaan tiga pesawat helikopter jenis Dolphin senilai Rp 281,3 miliar yang dilakukan Mabes Polri.
Sesungguhnya, Maret lalu masalah ini sudah dipersoalkan oleh DPR. Kala itu Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PKS Al Muzzammil Yusuf mengingatkan Kapolri Jenderal Sutanto, agar rencana pembelian helikopter bagi lembaga itu dilakukan secara terbuka dan transparan. Sebulan berselang, perkara itu bahkan sudah dilaporkan ke Kapolri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, entah mengapa ketiga pihak tak mengambil tindakan apa-apa.
Adalah Haryadi Harjono yang membawa persoalan tersebut ke ranah hukum. Sebagai peserta tender, Direktur Pemasaran PT Wahana Innovasi Global itu sakit hati lantaran merasa diperlakukan tak adil. Sebab, dalam pengadaan tiga heli buatan Prancis itu, satu pesawat di antaranya dilakukan secara penunjukan langsung dengan nilai Rp 94,5 miliar. Kabarnya, yang ditunjuk Mabes Polri adalah perusahaan yang dibekingi istri mantan petinggi Polri. Rencananya, awal Juli ini ia akan kembali melaporkan kasus itu ke KPK dan Kejaksaan Agung.
Perkara Lantas, kenapa tidak sekalian melapor ke Kapolri lagi? Agaknya Haryadi sudah patah arang terhadap Jenderal Sutanto. Bukan apa-apa, pada laporan sebelumnya, ia hanya diminta menemui Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri, Komisaris Jenderal Yusuf Manggabarani. ”Bukannya melakukan penyelidikan di instansinya, Yusuf malah meminta kami untuk tidak mempermasalahkannya,” ungkapnya.
Kasus penyimpangan tender tiga helikopter terjadi tahun lalu. Saat itu Polri membutuhkan tiga pesawat helikopter untuk melengkapi jajaran pesawat patrolinya di bawah Direktorat Polisi Udara. Untuk itulah kemudian pada 6 Maret-8 Maret 2006 dibuka pendaftaran tender. ”Tender itu tak pernah diumumkan ke publik di media-media massa seperti lazimnya pelaksanaan tender yang transparan,” kata Haryadi.
Para peserta yang terdiri dari 10 perusahaan umumnya mengetahui adanya tender tersebut dari informasi mulut ke mulut. ”Ada indikasi sejak awal tender ini dirancang secara diam-diam, sehingga hanya kalangan yang sudah dikenal dan dekat dengan para petinggi Polri saja yang bisa ikut tender,” ujar Haryadi.
Mulai dari acara penjelasan tender (9 Maret 2006), pelaksanaan (14 Maret dan 15 Maret 2006) hingga waktu pengumuman pemenang, menurut Haryadi, diwarnai berbagai pelanggaran yang dilakukan panitia tender. ”Ini benar-benar melanggar ketentuan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa”.
Singkat cerita, terpilihlah empat peserta yang dinilai memenuhi syarat. Mereka adalah PT Poris Duta Sarana dengan harga penawaran Rp 280,3 miliar dan produk yang ditawarkan tiga unit Bell 412 EP, PT Helizona (Rp 281,2 miliar yang menawarkan tiga unit Dolphin AS 365 N3), PT Wahana Innovasi Global (Rp 280,3 miliar dengan mengajukan tiga unit Bell 412 EP), dan PT Warga Kusuma Jaya (Rp 219,7 miliar yang menyodorkan dua unit Anzat dan satu unit MI-17V-5).
Namun, pengumuman yang seharusnya disampaikan dalam 14 hari kerja (akhir Maret 2006) itu molor hingga 18 September 2006. Melalui pemberitahuan lewat faksimile, saat itu baru diketahui pemenangnya adalah PT Helizona. Surat pemberitahuan penetapan pemenang itu sendiri tertanggal 24 Agustus 2006. Anehnya, seperti yang tertera dalam surat itu, Helizona memenangkan tender itu hanya untuk satu unit helikopter dengan harga Rp 94,5 miliar, bukan untuk tiga unit capung besi. ”Ini jelas bukan tender tapi penunjukan langsung,” umpat Haryadi.
HARGA YANG DILAPORKAN
KE PEMERINTAH RP 113 MILIAR?
Sudah begitu, dari harga satu unit helikopter yang dimenangkan Helizona, Haryadi melihat indikasi negara dirugikan. Menurutnya, harga pabrik heli itu sebenarnya hanya Rp 66,7 miliar. Sementara Helizona mendapat harga yang disetujui Rp 94,5 miliar tanpa pajak pertambahan nilai (PPN) 10 % dan pajak penghasilan (Pph) 10%. Artinya, keuntungan Helizona itu bersih sebesar Rp 27,8 miliar tanpa membayar pajak. Padahal, tambah Haryadi, Kapolri Jenderal Sutanto telah memutuskan keuntungan dari tender itu tak boleh lebih dari 10%. ”Nah, keuntungan Helizona lebih dari 10 persen dan tanpa dibebani pajak yang seharusnya diterima Negara,” katanya.
Haryadi mengaku lebih terkejut lagi setelah mendapat informasi dari orang dalam di Mabes Polri bahwa pagu anggaran untuk pengadaan satu unit helikopter yang tercantum dalam daftar isian proyek anggaran (DIPA) itu sebesar Rp 113 miliar. Tak ayal ia menduga harga yang dilaporkan panitia tender ke pemerintah, yaitu sebesar Rp 113 miliar. Kalau dugaan itu benar, berarti panitia tender mendapat ”keuntungan” sebesar Rp 18,5 miliar. Dari keuntungan itu, panitia bisa jadi membayarkan pajak yang seharusnya dibebankan kepada Helizona berdasarkan patokan pagu anggaran yang sebesar Rp 113 miliar itu. ”Di sini panitia juga memainkan modus restitusi pajak, yang seharusnya pengembalian restitusi masuk ke Helizona, tapi masuk ke panitia,” tuturnya.
Sementara itu, Weyly B. Muljadi, Direktur Utama PT Helizona membantah tudingan tender pengadaan tiga buah helikopter milik Mabes Polri dilakukan melalui penunjukan langsung. ”Pengadaan satu unit helikopter itu sudah sesuai prosedur tender yang benar,” kata Weyly. Namun, ia ogah menyinggung soal tender yang semula untuk pengadaan tiga unit helikopter.
Komisaris Jenderal Yusuf Manggabarani sendiri ketika dihubungi TRUST menyatakan proses tender Helikopter Dolphin itu masih berjalan dan sepengetahuannya dalam proses tender tersebut tidak terdapat penyelewengan. Tak lupa ia menambahkan, tender tersebut bebas dari nuansa kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). ”Tak ada hubungannya pemenang tender itu dengan istri salah seorang petinggi Polri,” katanya.
Bagaimana kisah ini selanjutnya? Jawabannya tentu berada di kantong KPK dan Kejaksaan Agung.
KASUS ALKOM RIWAYATMU KINI
KASUS dugaan penunjukan langsung pengadaan satu unit helikopter senilai Rp 94 di Direktorat Polisi Udara Polri, tampaknya akan bernasib sama dengan perkara dugaan korupsi pengadaan alkom dan jarkom yang ditengarai merugikan negara sekitar Rp 602 miliar.
Presiden Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), Jusuf Rizal yang melaporkan kasus Alkom-Jarkom ke Polri di era Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar, mengaku merasa heran dengan penanganan kasus yang pernah dilaporkannya. ”Kasus jarkom dan alkom ini nyaris ditelan alam,” sahutnya. Padahal, ”Kalau Da’i Bachtiar (Kapolri kala itu) dimintai keterangan tentu kasus itu bisa tuntas penanganannya,’’ ujarnya.
Sama dengan proyek pengadaan satu unit helikopter, pemasok alkom dan jarkom juga diduga ditunjuk tanpa proses tender. Proyek-proyek alkom dan jarkom yang pelaksanaannya berdasarkan penunjukan langsung dan di-mark-up di antaranya adalah pembangunan jarkom patroli jalan raya (PJR) Sumatra sebanyak 6 paket dengan kontrak sebesar Rp 50 miliar pada tahun 2004. Pemasoknya adalah PT Trutama Star. Lalu, ada juga proyek perluasan Radio Trunking Polda Sumut sebanyak 15 item pada tahun 2003, senilai Rp 30,3 miliar. Perusahaan yang ditunjuk langsung untuk proyek tersebut, yaitu PT Chandra Eka Karya Pratama.
Terhadap kasus tersebut, sumber TRUST di Mabes Polri mengungkapkan bahwa dalam kasus ini telah diperiksa sembilan perwira tinggi polisi. Namun seperti apa hasilnya, ia menolak membeberkan.
Toh, masyarakat jangan berharap banyak perkara ini akan tuntas. Kepada TRUST, Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengakui pihaknya pernah meneliti kasus ini. Hasilnya? ”Ternyata tidak ada apa-apanya, tak ada indikasi korupsi. Karena itu tak jadi kami periksa,” kata pensiunan polisi berbintang dua itu.
Sesungguhnya, Maret lalu masalah ini sudah dipersoalkan oleh DPR. Kala itu Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PKS Al Muzzammil Yusuf mengingatkan Kapolri Jenderal Sutanto, agar rencana pembelian helikopter bagi lembaga itu dilakukan secara terbuka dan transparan. Sebulan berselang, perkara itu bahkan sudah dilaporkan ke Kapolri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, entah mengapa ketiga pihak tak mengambil tindakan apa-apa.
Adalah Haryadi Harjono yang membawa persoalan tersebut ke ranah hukum. Sebagai peserta tender, Direktur Pemasaran PT Wahana Innovasi Global itu sakit hati lantaran merasa diperlakukan tak adil. Sebab, dalam pengadaan tiga heli buatan Prancis itu, satu pesawat di antaranya dilakukan secara penunjukan langsung dengan nilai Rp 94,5 miliar. Kabarnya, yang ditunjuk Mabes Polri adalah perusahaan yang dibekingi istri mantan petinggi Polri. Rencananya, awal Juli ini ia akan kembali melaporkan kasus itu ke KPK dan Kejaksaan Agung.
Perkara Lantas, kenapa tidak sekalian melapor ke Kapolri lagi? Agaknya Haryadi sudah patah arang terhadap Jenderal Sutanto. Bukan apa-apa, pada laporan sebelumnya, ia hanya diminta menemui Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri, Komisaris Jenderal Yusuf Manggabarani. ”Bukannya melakukan penyelidikan di instansinya, Yusuf malah meminta kami untuk tidak mempermasalahkannya,” ungkapnya.
Kasus penyimpangan tender tiga helikopter terjadi tahun lalu. Saat itu Polri membutuhkan tiga pesawat helikopter untuk melengkapi jajaran pesawat patrolinya di bawah Direktorat Polisi Udara. Untuk itulah kemudian pada 6 Maret-8 Maret 2006 dibuka pendaftaran tender. ”Tender itu tak pernah diumumkan ke publik di media-media massa seperti lazimnya pelaksanaan tender yang transparan,” kata Haryadi.
Para peserta yang terdiri dari 10 perusahaan umumnya mengetahui adanya tender tersebut dari informasi mulut ke mulut. ”Ada indikasi sejak awal tender ini dirancang secara diam-diam, sehingga hanya kalangan yang sudah dikenal dan dekat dengan para petinggi Polri saja yang bisa ikut tender,” ujar Haryadi.
Mulai dari acara penjelasan tender (9 Maret 2006), pelaksanaan (14 Maret dan 15 Maret 2006) hingga waktu pengumuman pemenang, menurut Haryadi, diwarnai berbagai pelanggaran yang dilakukan panitia tender. ”Ini benar-benar melanggar ketentuan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa”.
Singkat cerita, terpilihlah empat peserta yang dinilai memenuhi syarat. Mereka adalah PT Poris Duta Sarana dengan harga penawaran Rp 280,3 miliar dan produk yang ditawarkan tiga unit Bell 412 EP, PT Helizona (Rp 281,2 miliar yang menawarkan tiga unit Dolphin AS 365 N3), PT Wahana Innovasi Global (Rp 280,3 miliar dengan mengajukan tiga unit Bell 412 EP), dan PT Warga Kusuma Jaya (Rp 219,7 miliar yang menyodorkan dua unit Anzat dan satu unit MI-17V-5).
Namun, pengumuman yang seharusnya disampaikan dalam 14 hari kerja (akhir Maret 2006) itu molor hingga 18 September 2006. Melalui pemberitahuan lewat faksimile, saat itu baru diketahui pemenangnya adalah PT Helizona. Surat pemberitahuan penetapan pemenang itu sendiri tertanggal 24 Agustus 2006. Anehnya, seperti yang tertera dalam surat itu, Helizona memenangkan tender itu hanya untuk satu unit helikopter dengan harga Rp 94,5 miliar, bukan untuk tiga unit capung besi. ”Ini jelas bukan tender tapi penunjukan langsung,” umpat Haryadi.
HARGA YANG DILAPORKAN
KE PEMERINTAH RP 113 MILIAR?
Sudah begitu, dari harga satu unit helikopter yang dimenangkan Helizona, Haryadi melihat indikasi negara dirugikan. Menurutnya, harga pabrik heli itu sebenarnya hanya Rp 66,7 miliar. Sementara Helizona mendapat harga yang disetujui Rp 94,5 miliar tanpa pajak pertambahan nilai (PPN) 10 % dan pajak penghasilan (Pph) 10%. Artinya, keuntungan Helizona itu bersih sebesar Rp 27,8 miliar tanpa membayar pajak. Padahal, tambah Haryadi, Kapolri Jenderal Sutanto telah memutuskan keuntungan dari tender itu tak boleh lebih dari 10%. ”Nah, keuntungan Helizona lebih dari 10 persen dan tanpa dibebani pajak yang seharusnya diterima Negara,” katanya.
Haryadi mengaku lebih terkejut lagi setelah mendapat informasi dari orang dalam di Mabes Polri bahwa pagu anggaran untuk pengadaan satu unit helikopter yang tercantum dalam daftar isian proyek anggaran (DIPA) itu sebesar Rp 113 miliar. Tak ayal ia menduga harga yang dilaporkan panitia tender ke pemerintah, yaitu sebesar Rp 113 miliar. Kalau dugaan itu benar, berarti panitia tender mendapat ”keuntungan” sebesar Rp 18,5 miliar. Dari keuntungan itu, panitia bisa jadi membayarkan pajak yang seharusnya dibebankan kepada Helizona berdasarkan patokan pagu anggaran yang sebesar Rp 113 miliar itu. ”Di sini panitia juga memainkan modus restitusi pajak, yang seharusnya pengembalian restitusi masuk ke Helizona, tapi masuk ke panitia,” tuturnya.
Sementara itu, Weyly B. Muljadi, Direktur Utama PT Helizona membantah tudingan tender pengadaan tiga buah helikopter milik Mabes Polri dilakukan melalui penunjukan langsung. ”Pengadaan satu unit helikopter itu sudah sesuai prosedur tender yang benar,” kata Weyly. Namun, ia ogah menyinggung soal tender yang semula untuk pengadaan tiga unit helikopter.
Komisaris Jenderal Yusuf Manggabarani sendiri ketika dihubungi TRUST menyatakan proses tender Helikopter Dolphin itu masih berjalan dan sepengetahuannya dalam proses tender tersebut tidak terdapat penyelewengan. Tak lupa ia menambahkan, tender tersebut bebas dari nuansa kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). ”Tak ada hubungannya pemenang tender itu dengan istri salah seorang petinggi Polri,” katanya.
Bagaimana kisah ini selanjutnya? Jawabannya tentu berada di kantong KPK dan Kejaksaan Agung.
KASUS ALKOM RIWAYATMU KINI
KASUS dugaan penunjukan langsung pengadaan satu unit helikopter senilai Rp 94 di Direktorat Polisi Udara Polri, tampaknya akan bernasib sama dengan perkara dugaan korupsi pengadaan alkom dan jarkom yang ditengarai merugikan negara sekitar Rp 602 miliar.
Presiden Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), Jusuf Rizal yang melaporkan kasus Alkom-Jarkom ke Polri di era Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar, mengaku merasa heran dengan penanganan kasus yang pernah dilaporkannya. ”Kasus jarkom dan alkom ini nyaris ditelan alam,” sahutnya. Padahal, ”Kalau Da’i Bachtiar (Kapolri kala itu) dimintai keterangan tentu kasus itu bisa tuntas penanganannya,’’ ujarnya.
Sama dengan proyek pengadaan satu unit helikopter, pemasok alkom dan jarkom juga diduga ditunjuk tanpa proses tender. Proyek-proyek alkom dan jarkom yang pelaksanaannya berdasarkan penunjukan langsung dan di-mark-up di antaranya adalah pembangunan jarkom patroli jalan raya (PJR) Sumatra sebanyak 6 paket dengan kontrak sebesar Rp 50 miliar pada tahun 2004. Pemasoknya adalah PT Trutama Star. Lalu, ada juga proyek perluasan Radio Trunking Polda Sumut sebanyak 15 item pada tahun 2003, senilai Rp 30,3 miliar. Perusahaan yang ditunjuk langsung untuk proyek tersebut, yaitu PT Chandra Eka Karya Pratama.
Terhadap kasus tersebut, sumber TRUST di Mabes Polri mengungkapkan bahwa dalam kasus ini telah diperiksa sembilan perwira tinggi polisi. Namun seperti apa hasilnya, ia menolak membeberkan.
Toh, masyarakat jangan berharap banyak perkara ini akan tuntas. Kepada TRUST, Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengakui pihaknya pernah meneliti kasus ini. Hasilnya? ”Ternyata tidak ada apa-apanya, tak ada indikasi korupsi. Karena itu tak jadi kami periksa,” kata pensiunan polisi berbintang dua itu.




3:22 PM
Ferly'Juliansyah








1 comments:
Kepada : Yth Perusahaan Di Tempat
Up : Direktur/Pimpinan
From : NOVI YULIANDRI (0853 6600 3320)
Perihal : Penawaran Penerbitan Bank Garansi & Surety Bond - SP2D Akhir Tahun (Non Collateral)
Dengan Hormat,
Perkenalkan kami dari PT. BINTANG HARAPAN BERSAMA ( Agent Insurance - Bank Guarantee & Surety Bond ) dimana perusahaan kami telah di tunjuk untuk memasarkan Bank Garansi & Surety Bond dengan Sertifikat Agent Nomor : 01.071215.00.00.023174.0101 AAUI bahkan perusahaan kami telah di Back Up oleh Perusahaan Asuransi Kerugian Swasta Nasional Maupun BUMN. Bank Garansi & Surety Bond yang kami terbitkan diterima di instansi pemerintah, maupun Swasta,(BUMN, BUMD, KPS, PERTAMINA, ICO, CNOOC, ABES TNI, MABES POLRI, TOTAL E & P INDONESIA) Di sini kami memberikan prosedur yang relative mudah yaitu Tanpa Agunan (Non Collateral) Proses cepat serta polis jaminan kami antar.
Jenis Jaminan Proyek:
1. Jaminan Penawaran/Bid ( Tender) Bond.
2. Jaminan Pelaksanaan/Performance Bond.
3. Jaminan Uang Muka/Advance.
4. Jaminan Pemeliharaan/Maintenance Bond.
5. Jaminan Pembayaran/Paymen Bond
6. Jaminan Penundaan Pembayaran bea masuk (Custom Bond)
7. Jaminan Construction All Risk , SP2D Akhir Tahun dan Jaminan Lainnya.
Jenis-jenis jaminan asuransi (surety bond) yang kami terbitkan antaranya sebagai berikut:
1. PT.ASURANSI ASKRINDO
2. PT.ASURANSI JASINDO
3. PT.ASURANSI ASEI
4. PT.ASURANSI JAMKRINDO
5. PT.ASURANSI SINARMAS
6. PT.ASURANSI ASKRIDA
7. PT.ASURANSI BUMIDA
8. PT.ASURANSI ACA
9. PT.ASURANSI MEGA PRATAMA
10.PT.ASURANSI BOSOWA PERISKOP
11.PT.ASURANSI RAYA
12.PT.ASURANSI BERDIKARI
13.PT.ASURANSI RAMAYANA
14.PT.ASURANSI REKAPITAL
Jenis-jenis Bank Garansi (Bank Guarantee) Yang Kami Terbitkan antaranya sebagai berikut:
1. BANK MANDIRI
2. BANK BRI
3. BANK BNI
4. BANK BTN
5. BANK BCA
6. BANK BII
7. BANK BUKOPIN
8. BANK EXIM
9. BANK BPD DKI
10.BANK BPD JATIM
11.BANK BPD SUMSEL
12.BANK BPD JABAR
Beberapa Jenis Asuransi Kerugian Umum :
1. Asuransi Pengangkutan
2. Asuransi Pengangkutan Barang (Cargo Insurance)
3. Asuransi Pengangkutan Melalui Laut (Marine Cargo)
4. Asuransi Pengangkutan Melalui Darat (Land Cargo)
5. Asuransi Pengangkutan Melalui Udara (Air Cargo)
6. Asuransi Rangka Kapal (Marine Hull)
7. Asuransi Pesawat Terbang (Avition)
8. Asuransi Rekayasa Tehnik (Engineering)
9. Asuransi Kendaraan (Vehicle Insurance)
10.Asuransi Kebakaran (Fire Insurance) Dan Jaminan Asuransi Kerugian Lainnya
Adapun sebagai Bahan Pertimbangan Bapak/Ibu berikut ini Saya Lampirkan Proposal Penawaranan PenerbitanJaminan Bank Garansi & Asuransi (Non Collateral) Atas Perhatian dan Kerjasamanya Saya Ucapkan Terimaksih.
Best Regards :
NOVI YULIANDRI
PT. BINTANG HARAPAN BERSAMA
Jl.Galursari III Blok J 168 A.Utan Kayu Selatan,Matraman.Jakarta Timur
Telpon : 021 2285 6316
Fax : 021 2285 6317
Email : noviyuliandri@yahoo.com
Post a Comment